SELAMAT DATANG


PENGANTAR PEMAHAMAN

Salam Lestari!!!

Keberadaan organisasi pencinta alam ditanah air dari segi kwantitas maupun kwalitas dari segi kegiatan yang dilakukan oleh para aktivitas alam bebas ini menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Hampir setiap daerah memiliki kelompok-kelompok yang menamakan dirinya sebagai organisasi pecinta alam dan inipun tak terlepas dari publikasi media massa yang memanfaatkan kegiatan aktivitas alam bebas untuk mengisi kolom-kolom edisi mereka, sehingga dengan demikian terbentuklah opini publik dan memberi andil dalam perkembangan dunia pecinta alam ditanah air.

Perhatian publik mulai tersita untuk menyimak, membahas dan menganalisa setiap kegiatan yang dilakukan oleh pecinta alam dan luput pula ikut memberikan masukan dan koreksian terhadap keberadaan pecinta alam. Pernyataan yang mengarah kepada keingintahuan tentang apa,siapa,mengapa,dimana dan bagaimana sebenarnya pecinta alam itu dalam beraktivitas di kancah kehidupan masyarakat sekarang ini selalu muncul bahkan langsung ditujukan kepada personel/kelompok yang bergerak dalam kepecintaan alam ini.

Latar belakang pembentukan,motivasi,visi,misi,cita-cita orientasi kegiatan, dukungan,sistem kelembagaan serta tatanan pendidikan semua merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh dan menentukan dalam perkembangan pecinta alam.

Persepsi dan apresiasi untuk memahami sosok keberadaan pencinta alam ini adalah dengan mengamati sepak terjang yang dilakukannya, karena kegiatan yang dilakukan tak terlepas dari unsur alam, lingkungan dan masyarakat. pengekspresian nilai-nilai yang diyakini dapat membentuk kepribadian serta karakter (yang dianggap luhur) bagi seorang pencinta alam.

Nilai-nilai yang diyakini ini bersumber dari hal-hal yang bersifat Filosofi dan mensiasati Filosofis pencinta alam yang berawal dari pengertian yang jelas tentang apa,siapa,mengapa,dimana dan bagaimana sebenarnya pencinta alam ini.

Berbagai macam pengertian tentang pencinta alam pun bermunculan dari orang-orang mengetahui,mengerti dan menggeluti dunia pencinta alam, sehingga diperoleh beberapa pengertian yang sebenarnya tak jauh berbeda dari arti dan hakekat sebenarnya demikian juga seperti yang tercantum dalam kode etik pencinta alam.

Pengambilan pengertian pencinta alam inipun tak terlepas dari berbagai pertanyaan, perdebatan dan perselisihan pendapat antar satu orang maupun kelompok, dengan demikian dapat lebih memantapkan kita dalam memilih pengertian tentang pecinta alam yang berkaitan dengan pengakuan kita sebagai pecinta alam.
Akhirnya istilah pecinta alam mulai dilekatkan pada orang yang gemar melakukan aktivitas dialam bebas, tanpa memilah kegiatan apa yang dilakukan oleh orang, peminat, penggemar maupun pemerhati kegiatan dialam bebas, sehingga istilah ini menjadi lazim walaupun memudarkan pengertian yang sebenarnya.
Salam Lestari!
Ketua Mapala Suluh Periode 2007/2009
ASRI ZULBENI
NPA.MS.067-AP'07


SEJARAH SINGKAT MAPALA SULUH FKIP UNRI

Apa yang diharapkan dengan mengikuti sebuah organisasi bernama Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam)? Banyak memandang sebelah mata pada organisasi ini dan terkadang mengatakan bahwa kegiatannya hanya bersifat hura-hura yang menghabiskan uang. Suara itu semakin santer terdengar bila ada pemberitaan mengenai kecelakaan yang dialami oleh anggota Mapala pada waktu melakukan kegiatan di alam.

Kembali pada bulan November tahun 1964, dimana pendirian Mapala dicetuskan pertama kali oleh ide dari Soe Hok Gie dan kawan akrabnya Herman Lantang. Ide pencetusan pada saat itu memang didasari dari faktor politis selain dari hobi individual pengikutnya. Didirikan dimaksudkan untuk mewadahi para mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain yang sangat berbau politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap dalam hubungannya antar organisasi. Dalam tulisannya di, Soe mengatakan bahwa :
“Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya memalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh, barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik”
(Bara Eka 13 Maret 1966 dalam Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani karya John Maxwell, 2001)

Melalui diskusi yang cukup alot,maka pada tahun 1984 sekelompok mahasiswa FKIP UNRI mencetuskan lahirnya sebuah wadah aktivitas kepetualangan (adventure) yang diberinama KOMAPAL MORES (Kelompok Mahasiswa Pencinta Alam Moral Education) bermarkas di kampus Program Studi PPKN FKIP UNRI.Namun sayang, pada tahun 1990-an organisasi ini mulai menunjukkan indikasi kemunduran hingga awal tahun 1999. Sebuah inisiasi untuk mereorganize secara total wadah tersebut munucl dari pemikiran konstruktif seorang mahasiswa program studi bahasa inggris Harisman S yang lebih akrab disapa Ephoy.
Maka pada tanggal 22 Mei 1999,KOMAPAL MORES resmi berganti nama menjadi MAPALA SULUH FKIP UNRI melalui Musyawarah Anggota Istimewa (MUSANG ISTIMEWA)dan dituangkan dalam surat keputusan ketua no.01 tahun 1999. MAPALA SULUH FKIP UNRI merupakan lembaga semi otonom (LSO)satu-satunya tingkat fakultas (dibawah naungan lembaga mahasiswa tingkat universitas;MAPALINDUP UNRI) dan bermarkas besar atau lazim disebut HOMESTAY DI KAMPUS FKIP UNRI PANAM PEKANBARU.MAPALA SULUH FKIP UNRI memiliki jaringan (networking)tersebar diseluruh Indonesia melalui satu wadah kegiatan yang disebut TWKM (Temu Wicara Kenal Medan) MAPALA seluruh Indonesia

Kamis, 25 Desember 2008

Gerakan Mahasiswa Selayaknya Bisa Jadi Gerakan Sosial

Wafatnya mantan presiden RI Soeharto membawa kita mengenang kembali tumbangnya kekuasaan Orde Baru. Berikut sebuah analisa ikwal gerakan mahasiswa yang menjadi pilar tragedi tersebut. Tulisan pertama dari dua tulisan.

Gerakan mahasiswa 1998 yang punya andil dalam menumbangkan rezim Soeharto adalah suatu gerakan sosial. Maka sebelum membahas peran dan pengaruh pers mahasiswa dalam gerakan mahasiswa 1998, akan coba diulas di sini beberapa konsep tentang status dan peran sosial.

Masyarakat dapat dipandang terdiri dari seperangkat posisi-posisi sosial. Posisi sosial ini dinamakan status. Farley [1992] mengungkapkan, ada berbagai macam status berdasarkan cara memperolehnya. Pertama, status yang diperoleh begitu saja tanpa suatu usaha tertentu dari orang bersangkutan (ascribed status). Misalnya, status yang diterima begitu saja ketika orang terlahir sebagai laki-laki atau perempuan (jenis kelamin), berkulit putih atau berkulit hitam (ras), dan karakteristik keluarga tempat orang itu dilahirkan. Kedua, status yang diperoleh setidaknya sebagian melalui upaya tertentu atau perjuangan dari orang bersangkutan (achieved status). Seperti: jabatan di kantor, tingkat pendidikan, dan tingkat penghasilan.[1] Status mahasiswa tentu termasuk kategori kedua ini.

Faktor Penentu

Ada berbagai faktor yang menentukan suatu kedudukan sosial atau status. Antara lain: kelahiran, unsur biologis, harta kekayaan, pekerjaan, agama. Kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat tidak ditentukan oleh satu faktor saja. Bisa terjadi, beberapa faktor sekaligus menentukan kedudukan sosial seseorang atau suatu golongan, sehingga sulit menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kedudukan sosial.[2]

Jelas bahwa ada beberapa status yang lebih bersifat sentral dan penting dalam kehidupan seseorang dibandingkan status-status lain. Bagi kebanyakan orang, ada satu status yang ditempatkan di atas status-status lain, dilihat dari segi pengaruhnya terhadap kehidupan orang tersebut. Status semacam itu dinamakan master status. Misalnya, untuk orang dewasa, kemungkinan master status-nya adalah pekerjaan (occupation), atau bisa jadi posisinya dalam keluarga sebagai ayah, suami, atau istri.[3]

Karena pada saat yang sama seseorang memegang berbagai status yang berbeda, dan status-status ini boleh jadi tidak memiliki peringkat yang sama, dapat terjadi ketidakkonsistenan status. Kondisi ini disebut juga ketidaksesuaian status (status discrepancy) atau keganjilan status (status incongruity). Inkonsistensi status tampak, misalnya, bilamana seseorang secara umum tidak diakui menyandang suatu status padahal status itu dirasakannya pantas, seperti orang kaya baru yang dicemoohkan oleh orang yang berdarah ningrat. Contoh lain, seorang pria menjadi sekretaris dari eksekutif wanita, atau orang berpendidikan tinggi yang terpaksa harus menerima pekerjaan berkualifikasi rendah.[4]

Setiap status sosial terkait dengan satu atau lebih peran sosial. Menurut Horton dan Hunt [1993], peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status. Sedangkan status/kedudukan itu sendiri adalah suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya.[5] Setiap orang mungkin memiliki sejumlah status dan diharapkan mengisi peran yang sesuai dengan status itu. Dalam arti tertentu, status dan peran adalah dua aspek dari gejala yang sama. Status adalah seperangkat hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah pemeranan dari perangkat kewajiban dan hak-hak tersebut.

Abu Ahmadi [1982] mendefinisikan peran sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya.[6]

Posisi sosial yang ditempati seseorang dinamakan status, sedangkan perilaku yang diharapkan dari orang yang menempati posisi itu disebut peran. Peran sosial mirip dengan peran yang dimainkan seorang aktor. Bilton, et al. [1981] menyatakan, orang yang memiliki posisi-posisi atau status-status tertentu dalam masyarakat diharapkan untuk berperilaku dalam cara-cara tertentu yang bisa diprediksikan, seolah-olah sejumlah “naskah” (scripts) sudah disiapkan untuk mereka.[7]

Namun harapan-harapan yang terkait dengan peran-peran ini tidak hanya bersifat satu-arah. Seseorang tidak hanya diharapkan memainkan suatu peran dengan cara-cara khas tertentu, namun orang itu sendiri juga mengharapkan orang lain untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap dirinya. Seorang dokter dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat pribadi kepada pasien dan mengharapkan pasiennya menjawab dengan jujur. Sebaliknya si pasien mengharapkan dokter untuk merahasiakan dan tidak menyebarkan informasi yang bersifat pribadi ini ke pihak lain. Jadi peran sosial itu melibatkan situasi saling-mengharapkan (mutual-expectations).[8]

Peran sosial karena itu bukanlah semata-mata cara orang berperilaku yang bisa diawasi, tetapi juga menyangkut cara berperilaku yang dipikirkan seharusnya dilakukan orang bersangkutan. Gagasan-gagasan tentang apa yang seharusnya dilakukan orang, tentang perilaku apa yang “pantas” atau “layak”, ini dinamakan norma.

Harapan-harapan terpenting yang melingkupi peran sosial bukanlah sekadar pernyataan-pernyataan tentang apa yang sebenarnya terjadi –tentang apa yang akan dilakukan seseorang, di luar kebiasaan, dan seterusnya—tapi norma-norma yang menggarisbawahi segala sesuatu, di mana seseorang yang memiliki status diwajibkan untuk menjalankannya. Jadi, peran-peran itu secara normatif dirumuskan, sedangkan harapan-harapan itu adalah tentang pola perilaku ideal, terhadap mana perilaku yang sebenarnya hanya bisa mendekati.

Konflik Peran

Setiap orang memainkan sejumlah peran yang berbeda, dan kadang-kadang peran-peran tersebut membawa harapan-harapan yang bertentangan. Menurut Hendropuspito [1989], konflik peran (role conflict) sering terjadi pada orang yang memegang sejumlah peran yang berbeda macamnya, kalau peran-peran itu mempunyai pola kelakuan yang saling berlawanan meski subjek atau sasaran yang dituju sama. Dengan kata lain, bentrokan peranan terjadi kalau untuk menaati suatu pola, seseorang harus melanggar pola lain.[9]

Setidaknya ada dua macam konflik peran. Yakni, konflik antara berbagai peran yang berbeda, dan konflik dalam satu peran tunggal. Pertama, satu atau lebih peran (apakah itu peran independen atau bagian-bagian dari seperangkat peran) mungkin menimbulkan kewajiban-kewajiban yang bertentangan bagi seseorang. Kedua, dalam peran tunggal mungkin ada konflik inheren.[10] Adanya harapan-harapan yang bertentangan dalam satu peran yang sama ini dinamakan role strain.[11]

Satu hal yang menyebabkan terjadinya role strain adalah karena peran apapun sering menuntut adanya interaksi dengan berbagai status lain yang berbeda. Sampai tingkatan tertentu, masing-masing interaksi ini merumuskan peran yang berbeda, karena membawa harapan-harapan yang berbeda pula. Maka, apa yang tampak sebagai satu peran tunggal mungkin dalam sejumlah aspek sebenarnya adalah beberapa peran.

Misalnya, status sebagai karyawan bagian pemasaran (sales) eceran di sebuah perusahaan, dalam arti tertentu sebenarnya membawa beberapa peran: sebagai bawahan (terhadap atasan di perusahaan itu), sebagai sesama pekerja (terhadap karyawan-karyawan lain di perusahaan itu), dan sebagai penjual (terhadap konsumen dan masyarakat yang ditawari produk perusahaan tersebut).

Berbagai peran yang tergabung dan terkait pada satu status ini oleh Merton [1968] dinamakan perangkat peran (role set).[12] Dalam kerangka besar, organisasi masyarakat, atau yang disebut sebagai struktur sosial, ditentukan oleh hakekat (nature) dari peran-peran ini, hubungan antara peran-peran tersebut, serta distribusi sumberdaya yang langka di antara orang-orang yang memainkannya. Masyarakat yang berbeda merumuskan, mengorganisasikan, dan memberi imbalan (reward) terhadap aktivitas-aktivitas mereka dengan cara yang berbeda, sehingga setiap masyarakat memiliki struktur sosial yang berbeda pula.

Bila yang diartikan dengan peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang dalam suatu status tertentu, maka perilaku peran adalah perilaku yang sesungguhnya dari orang yang melakukan peran tersebut. Perilaku peran mungkin berbeda dari perilaku yang diharapkan karena beberapa alasan.

Menurut Horton dan Hunt [1993], seseorang mungkin tidak memandang suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar-benar sama.[13]

Proses Umum

Ada beberapa proses yang umum untuk memperkecil ketegangan peran dan melindungi diri dari rasa bersalah. Pertama, rasionalisasi, yakni suatu proses defensif untuk mendefinisikan kembali suatu situasi yang menyakitkan dengan istilah-istilah yang secara sosial dan pribadi dapat diterima. Rasionalisasi menutupi kenyataan konflik peran, yang mencegah kesadaran bahwa ada konflik. Misalnya, orang yang percaya bahwa “semua manusia sederajat” tapi tetap merasa tidak berdosa memiliki budak, dengan dalih bahwa budak bukanlah “manusia” tetapi “benda milik.”

Kedua, pengkotakan (compartmentalization), yakni memperkecil ketegangan peran dengan memagari peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang terpisah, sehingga seseorang hanya menanggapi seperangkat tuntutan peran pada satu waktu tertentu. Misalnya, seorang politisi yang di acara seminar bicara berapi-api tentang pembelaan kepentingan rakyat, tapi di kantornya sendiri ia terus melakukan korupsi dan merugikan kepentingan rakyat.

Ketiga, ajudikasi (adjudication), yakni prosedur yang resmi untuk mengalihkan penyelesaian konflik peran yang sulit kepada pihak ketiga, sehingga seseorang merasa bebas dari tanggung jawab dan dosa.

Terakhir, kadang-kadang orang membuat pemisahan secara sadar antara peranan dan “kedirian” (self), sehingga konflik antara peran dan kedirian dapat muncul sebagai satu bentuk dari konflik peran.[14] Bila orang menampilkan peran yang tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan apa yang harus mereka perbuat. Sehingga secara tak langsung mereka mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu.[15]

Konflik-konflik nyata antara peran dan kedirian itu dapat dianalisis dengan konsep jarak peran (role distance) yang dikembangkan Erving Goffman. “Jarak peran” diartikan sebagai suatu kesan yang ditonjolkan oleh individu bahwa ia tidak terlibat sepenuhnya atau tidak menerima definisi situasi yang tercermin dalam penampilan perannya. Ia melakukan komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai dengan sifat dari peranannya untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar peran yang dimainkannya. Seperti, pelayan toko yang mengusulkan pembeli untuk pergi ke toko lain karena mungkin bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Ini merupakan tindakan mengambil jarak dari peran yang mereka lakukan dalam suatu situasi.

Penampilan “jarak peran” menunjukkan adanya perasaan kurang terikat terhadap peranan. Pada sisi lain, “penyatuan diri” dengan peranan secara total merupakan kebalikan dari “jarak peran.” Penyatuan diri terhadap peran tidak dilihat dari sikap seseorang terhadap perannya, tetapi dari tindakan nyata yang dilakukannya. Seorang individu menyatu dengan perannya bila ia menunjukkan semua kemampuan yang diperlukan dan secara penuh melibatkan diri dalam penampilan peran tersebut.

http://netsains.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar